karya syaikh muhammad bin abdul wahhab
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Rahimahullah
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab
berkata:
وكل أمة بعث الله إليهم رسولا من نوح إلى محمد يأمرهم
بعبادة الله وحده وينهاهم عن عبادة الطاقوت ، والدليل قوله تعالى (ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطغوت ) النحل آية 36 ، وافترض الله علىجميع العباد
الكفر بالطاغوت والإيمان بالله . قال ابن القيم رحمه الله تعالى : معنى الطاغوت
ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع .
Allah telah mengutus semua rasul [1] kepada setiap umat
mulai Nabi Nuh sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka
memerintahkan agar manusia menyembah Allah saja dan melarang menyembah thaghut berdasarkan firman Allah, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja) dan
jauhilah thaghut itu'." (An-Nahl:36)[2]
Allah mewajibkan kepada tiap-tiap hambaNya untuk
mengingkari thaghut dan hanya beriman
kepada Allah. Ibnu Qayyim Rahimahullah
berkata, "Thaghut ialah segala
yang diperlakukan seorang hamba secara melampaui batas, baik berupa sesuatu
yang disembah, diikuti atau yang ditaati." [3]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata:
[1] Maksudnya, Allah
telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul yang mengajak menyembah Allah
semata dan melarang mereka menyekutukan Allah, berdasarkan firmanNya,
"Dan tidak
ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan." (Fathir: 24)
Dan firmanNya,
"Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
'Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu'." (An-Nahl:36)
[2] Ayat diatas
adalah hakikat makna "Laa ilaaha illallah "
[3] Maksud pengarang
(Muhammad bin Abdul Wahhab) di atas adalah bahwa kesempurnaan tauhid hanya
dengan cara menyembah Allah saja, tidak membuat sekutu denganNya serta menjauhi
thaghut. Allah mewajibkan hal itu kepada setiap hambaNya. Thaghut berasal
dari kata tughyan, artinya melampaui batas seperti dalam firman Allah,
"Sesungguhnya
tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu dalam
bahtera."
(Al-Haqqah: 11). Artinya tatkala air bertambah sehingga melebihi ukuran normal
maka nenek moyang kalian Kami bawa ke dalam perahu.
Menurut istilah syar'i
definisi yang paling bagus adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim di atas, yaitu: "Setiap yang diperlakukan
hamba secara melampaui batas, baik berupa sesuatu yang disembah, diikuti dan
ditaati." Maksud yang disembah, diikuti dan ditaati adalah selain
orang-orang shaleh. Adapun orang shaleh tidak mungkin dijuluki dengan sebutan thaghut
meskipun ia disembah, diikuti atau ditaati.
Berhala-berhala yang disembah selain Allah adalah termasuk thaghut.
Ulama suu' (sesat) yang mengajak
kepada kesesatan, kekafiran, perbuatan bid'ah, menghalalkan yang
diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah, mereka termasuk thaghut.
Orang-orang yang mendukung dan
membantu para pemimpin untuk melawan hukum-hukum Allah, dengan mengganti
aturan dan hukum Islam dengan hukum jahiliyah termasuk thaghut, karena
mereka melampaui batas.
Seyogyanya seorang
alim mengikuti ajakan dan sunnah rasul, sebab ulama adalah pewaris para Nabi.
Sedangkan para nabi mewariskan ilmu, amal, akhlak, dakwah dan pengajaran agama
kepada umatnya. Jika mereka melampaui batas, menjadi penjilat dan pendukung
para pemimpin dalam menentang dan menghapus hukum Allah untuk menggantinya
dengan hukum jahiliyah, maka mereka menjadi thaghut, karena mereka
keluar dari yang seharusnya wajib dipertahankannya, yakni mengikuti syari'at Islam.
Adapun maksud ditaati
adalah ditaati secara formal dan syar'i.
Mereka dita'ati secara syar'i jika perintahnya tidak bertentangan dengan
perintah Allah dan rasulNya. Pemimpin yang semacam ini tidak disebut thaghut
dan semua rakyat wajib mentaati dan mendengarkan perintahnya. Mentaati
mereka dalam hal ini bagian dari taat kepada Allah. Oleh karena itu hendaknya
kita dalam melaksanakan perintah pemimpin dalam hal yang wajib ditaati meyakini
bahwa hal tersebut berarti beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah,
sehingga ketaatan kita dalam menjalankan perintah tersebut sebagai pendekatan
kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Dan hal tersebut kita laksanakan
karena Allah berfirman,
(
"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri
di antara kamu."
(An-Nisa: 59).
Adapun mentaati
para pemimpin formal yaitu apabila pemimpin tersebut kuat dalam
kekuasaannya sehingga orang mentaati mereka sebab kekuasaannya, bukan sebab
dorongan keimanannya.
Mentaati seorang
pemimpin adakalanya didorong oleh rasa iman. Dan ketaatan semacam inilah
yang sangat bermanfaat bagi pemimpin dan bermanfaat bagi rakyatnya. Dan ada
pula yang mentaati pemimpin karena kekuasaannya, dimana seorang pemimpin
tersebut diktator, semua orang takut kepadanya, ia akan menganiaya dan menindas
siapa saja yang menentangnya.
Oleh karena itu, tipe
pemimpin dapat kita bedakan sebagai berikut:
Pertama: Pemimpin yang kuat
iman dan kekuasaannya, inilah pemimpin ideal dan paling tinggi kedudukannya.
Kedua: Pemimpin yang lemah
imannya dan kekuasaannya, tipe ini paling berbahaya bagi rakyat dan negaranya
karena jika keimanan dan kekuasaan pemimpin tersebut lemah akan terjadi
kekacauan pemikiran, akhlak dan tindakan.
Ketiga: Pemimpin yang lemah
imannya tetapi kuat kekuasaannya, ini bentuk kepemimpinan yang sedang, karena
jika pemimpin tersebut kuat dalam kekuasaannya, maka secara dzahir pelaksanaan
pemerintahannya mendatangkan maslahat bagi rakyat. Jika kekuasaannya melemah,
maka bisa dilihat bagaimana keadaan umat dan kehinaan amal perbuatan mereka.
Keempat: Seorang pemimpin
yang kuat imannya tetapi lemah kekuasaan dan kepemimpinannya, ini lebih rendah
dari yang ketiga, tapi hubungannya sebagai manusia dengan Tuhannya lebih bagus
dan sempurna.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
والطواغيت كثيرون . ورؤسهم خمسة ، إبليس لعنه الله
، ومن عبد وهو راض ، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه ومن ادعى شيئا من علم الغيب ، ومن
حكم بغير ماأنزل الله
Dan Thaghut-Thaghut [1] sangat banyak macamnya dan pembesarnya[2] ada lima:
Iblis yang terlaknat [3], orang yang rela disembah [4], orang yang mengajak
manusia untuk menyembah kepada dirinya [5], orang yang mengaku mengetahui
sesuatu hal yang ghaib [6], dan orang yang berhukum kepada selain hukum Allah.
[7]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata:
[1] Arti Thaghut
sudah dijelaskan di atas
[2] Maksudnya para
pembesar dan pemimpinnya ada lima.
[3] Iblis
adalah syaitan yang terkutuk dan terlaknat seperti firman Allah kepadanya,
"Sesungguhnya
kutukanKu tetap atasmu sampai hari pembalasan." (Shad: 78).
Iblis dulu bersama
para malaikat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh para malaikat. Setelah
diperintah bersujud terhadap Nabi Adam, tampaklah pembangkangan dan
keburukannya. Ia enggan dan sombong serta tergolong hamba Allah yang kafir,
sehingga Allah menjauhkannya dari rahmatNya.
Firman Allah,
“Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam!," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
[4] Yang disembah selain Allah dan dia rela disembah
selain Allah, maka ia termasuk
pembesar thaghut (na’udzubillah),
baik ia disembah di waktu hidupnya atau setelah ia mati dan ia tatkala mati
rela diperlakukan seperti itu.
[5] Yaitu orang yang mengajak manusia menyembah
kepada dirinya walaupun mereka tidak menyembahnya, maka ia termasuk para
pembesar thaghut, baik ajakannya itu diterima atau tidak.
[6] Ghaib ialah
sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleeh indera manusia, hal yang ghaib ada dua
macam:
a. Ghaib yang sudah
terjadi
b. Ghaib yang belum
terjadi
Yang sudah terjadi
bersifat nisbi, mungkin seseorang mengetahuinya sedang yang lainnya
tidak. Adapun yang belum terjadi tidak ada yang mampu mengetahuinya melainkan
Allah dan sebagian rasul yang diberitahu oleh Allah. Barangsiapa mengaku mengetahui hal ini (hal yang ghaib), maka ia telah
kafir, karena dia telaah mendustakan Allah dan RasulNya. Firman Allah,
“Katakanlah: ‘Tidak
ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
Apabila Allah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengumumkan
kepada kaumnya bahwa tidak ada seorang pun di langit dan di bumi ini yang
mengetahui perkara ghaib kecuali Allah, maka barangsiapa mengaku mengetahui
perkara ghaib berarti telah mendustakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam berita ini.
Kita mengatakan
kepada mereka: Bagaimana mungkin Anda bisa mengetahui yang ghaib padahal Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam tidak mengetahuinya? Apakah Anda lebih mulia dari Nabi Shallalahu
alaihi wa sallam? Jika mereka mengatakan, mereka lebih utama daripada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka mereka kafir dengan ucapan
tersebut. Jika mereka mengatakan bahwa beliau lebih mulia dari mereka maka kita
katakana kepada mereka, kenapa beliau tidak mengetahui perkara ghaib sementara
kalian mengetahuinya? Allah telah berfirman menjelasskan kedudukan Dzatnya:
“(Dia adalah
Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu. kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka
Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya.”
(Al-Jin: 26-27)
Ini ayat kedua yang
menunjukkan kufurnya orang yang mengaku mengetahui perkaraa ghaib. Allah
memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan kepada kaumnya dengan suatu ucapan,
“Katakanlah: ‘Aku
tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat, aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
…”
(Al-An’am: 50)
[7] Berhukum dengan
hukum yang bersumber dari ajaran Allah adalah bagian dari tauhid rububiyah, karena
melaksanakan hukum Allah adalah konsekwensi dari tauhid rububiyahNya,
kesempurnaan kekuasaan dan kehendakNya. Oleh sebab itu para pembuat dan pelaksana
hukum yang bersumber dari selain hukum Allah disebut tuhan bagi para
pengikutnya. Firman Allah,
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-taubah: 31)
Allah menyebut
orang-orang yang membuat hukum sebagai tuhan-tuhan yang telah membuat aturan
dan syai’at menyamai Allah dan Allah menyebut orang-orang yang mengikuti mereka
sebagai hamba-hamba mereka, karena mereka mentaati dan mengikuti mereka dalam
menentang dan melawan hukum-hukum Allah.
Adi bin Hatim (radhiyallahu
anhu) berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Mereka
tidak menyembahnya.” Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bukankah mereka mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram lalu mereka ikuti, itulah bentuk ibadah mereka
kepadanya.”[i]
Jika sudah memahami
keterangan ini maka ketahuilah, barangsiapa tidak maau berhukum dan menerapkan
hukum Allaah dan mereka ingin berhukum dan menerapkan hukum yang lainnya, maka
banyak sekali ayat-ayat yang menafikan keimanannya dan sebagian ayat yang lainnya
memvonis mereka dengan kekufuran, kezhalimann dan kefasikan.
Bagian pertama dalam hal ini, contohnya adalah firman
Allah,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka
telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka Bagaimanakah halnya
apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan
perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil
bersumpah: "Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna’. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah
kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus
seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 60-65)
Allah memberikan
beberapa ciri orang-orang yang mengaku beriman, padahal mereka adalah orang-orang munafik sebagai berikut:
Pertama: Mereka selalu
cenderung berhakim kepada thaghut, yaitu setiap hukum yang bertentangan
dengan hukum Allah dan putusan RasulNya. Karena setiap yang bertentangan dengan
hukum Allah dan RasulNya termassuk thughyan (melampaui batas) dan
pelanggaran terhadap hukum yang seharusnya dijadikan sumber dari segala sumber
hukum yaitu hukum Allah. Firman Allah,
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raaf: 54)
Kedua: Jika diajak kembali
kepada aturan Allah dan RasulNya mereka menghalang-halangi dan berpaling
darinya.
Ketiga: Jika mereka ditimpa
musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri yang di antaranya didapati dalam
perbuatan mereka, mereka datang sambil bersumpah bahwa mereka tidak
menginginkan kecuali kebaikan dan taufik seperti yang terjadi di zaman
sekarang. Mereka menolak hukum Islam dan menggantinya dengan hukum buatan
manusia yang bertentangan dengan hukum Islam, tetapi mengaku apa yang mereka
lakukan itu demi kebaikan dan lebih sesuai dengan kondisi zaman. Maka Allah
memperingatkan kepada mereka, yang dirinya mengaku beriman sementara memiliki
karakter munafik, bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi di hati mereka dan
sikap mereka yang berlawanan dengan apa yang mereka ucapkan. Dan Allah telah
memerintahkan kepada NabiNya untuk menasihati mereka, dengan perkataan yang
membekas penuh dengan hikmah, kemudian Allah menjelaskan hikmah diutusnya para
rasul yaitu tidak lain hanya untuk ditaati dan diikuti oleh manusia, betapa pun
hebat pemikirannya dan luas pengetahuannya. Kemudian Allah bersumpah kepada
rasulNya dengan sifat rububiyahNya yang menerapkan bagian yang khusus
dari sifat rububiyahNya, yang mengisyaratkan kebenaran risalah Nabi
Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam.
Allah bersumpah bahwa
iman seseorang tidak akan sah dan benar kecuali dengan tiga hal:
Pertama: Menyelesaikan setiap
perkara dan perselisihan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua: Merasa puas dengan
putusannya dan tiddak merasa keberatan
dalam hati atas putusan tersebut.
Ketiga: Menerima sepenuhnya
atas putusan tersebut dan melaksanakannyaa tanpa menunda-nunda dan
menyelewengkannya.
Bagian keduanya seperti firman Allah,
“Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Dan firmanNya,
“Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45)
FirmanNya lagi,
“Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)
Apakah ketiga sifat
ini berkumpul dalam satu pribadi, artinya siapa yang tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah akan dihukumi kafir, zhalim dan fasik
sekaligus, dengan dasar bahwa Allah menyifati orang-orang yang kafir dengan
sifat kefasikan dan kezhaliman seperti dalm firmanNya,
“Dan orang-orang
kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)
Dan firmanNya,
“Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan
fasik.”
(At-Taubah: 84).
Sehingga setiap yang
kafir pasti zhalim dan sekaligus fasik.
Ataukah…Ketiga sifat
ini diberikan sesuai dengan keadaan dan bobot masing-masing dari mereka yang
tidak mau berhukum dan memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah? Dan
ini (yakni yang kedua) yang saya anggap paling tepat.
Pendapat saya (Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin) dalam masalah ini sebagai berikut:
[Pertama] Jika ia tidak
memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah dengan maksud mengejek,
melecehkan atau berkeyakinan bahwa yang lainnya lebih bagus dan bermanfaat bagi
manusia, lebih layak untuk diterapkan, maka dia telah kafir dan keluar dari
agama Islam. Di antara mereka itu ialah mereka yang membuat undang-undang dan
aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Mereka menginginkan agar
orang-orang merujuk pada aturan yang mereka buat itu. Mereka tidak menciptakan
undang-undang yang menyimpang ini melainkan dengan keyakinan bahwa aturan dan
undang-undang yang mereka buat itu leebih baik, layak dan berguna bagi manusia.
Karena secara logika dan fithrah orang memahami bahwa seseorang tidak
meninggalkan suatu undang-undang dan beralih menggunakan yang lainnya, kecuali
bila ia berkeyakinan bahwa yang digunakan lebih bagus dari yang mereka tinggalkan.
[Kedua] Barangsiapa yang
memutuskan perkara dengan selain hukum Allah tidak ada unsur melecehkan,
menghina ddan tidak meyakini bahwa hukum yang selain dari Allah leebih bagus
dan layak untuk diterapkan, maka ia telah berbuat kezhaliman dan termasuk orang-orang
yang zhalim, bukan tergolong orang kafir, dan derajad kezhalimannya tergantung
kepada hukum yang dipakai dan sarana untuk menerapkan hukum tersebut.
[Ketiga] Barangsiapa yang
menerapkan hukum selain dari Allah dan tidak ada unsur melecehkan, menghina dan
meyakini bahwa yang lainnya lebih bagus dan lebih bermanfaat, tapi hanya
sekedar mencari muka dan perhatian di hadapan pembuat aturan tersebut, atau
mengharapkan suapan atau yang lainnya dari kepentingan dunia, maka orang
tersebut fasik dan tidak kafir, derajad kefasikannya tergantung hukum yang
dipakai dan sarana menerapkan hukum tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (rahimahullah) menjelaskan, sikap orang-orang Yahudi yang menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, mereka terbagi
menjadi dua kelompok:
Pertama : Mereka mengetahui,
para rahib dan orang-orang alim mereka telah mengubah agama Allah dan mereka
mengikutinya dalam pengubahan tersebut serta meyakini bahwa mereka sedang
menghalalkan yang diharamkan dan mengharamkan yang dihalalkan Allah hanya
karena mengikuti dan mematuhi pemimpin mereka. Mereka mengetahui secara pasti
bahwa mereka telah menyimpang dari agama para rasul, maka orang seperti ini
telah kafir karena menjadikan selain Allah dan RasulNya sekutu dalam membuat
sumber hukum.
Kedua : Mereka meyakini dan
mengimani hukum Allah tapi mereka menghalalkan yang diharamkan dan mengharamkan
yang dihalalkan Allah hanya sekedar mentaati mereka dalam bermaksiat kepada
Allah, seperti yang dialkukan sebagian orang Islam. Mereka berbuat suatu
maksiat, tetapi mereka masih meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah
kemaksiatan, maka mereka termasuk ahlul kabair, pelaku dosa besar.
Ada perbedaan dalam
masalah penerapan hukum secara umum dengan penerapan yang hanya dalam masalah
tertentu yang dilakukan oleeh seorang hakim dengan menggunakan hukum selain
hukum Allah, karena masalah-masalah yang tergolong sebagai penerapan hukum
secara umum tidak termasuk dalam pembagian di atas. Namun dia hanya tergolong
dalam bagian pertama saja. Karena ia menerapkan suatu aturan yang bertentangan
dengan Islam, karena ia meyakini bahwa hukum yang ia terapkan lebih bagus dari
hukum Islam dan lebih berguna bagi kehiddupan manusia, seperti yang telaah saya
sebutkan di atas.
Masalah berhakim dan
memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah adalah masalah yang sangat
besar yang banyak di antara pemimpin Islam zaman sekarang terkena fitnah
dengannya. Oleh karena itu hendaknya setiap orang tidak tergesa-gesa dalam
menghukumi dan melemparkan tuduhan yang tidak seharusnya kepada mereka, sebelum
hal tersebut nyata dan jelas baginya, karena masalah ini sangat berbahaya.
Semoga Allah
memperbaiki pemimpin kaum muslimin. Bagi yang memiliki ilmu dan bekal yang
cukup hendaknya tidak segan-segan menjelaskan masalah ini kepada setiap
pemimpin agar hujjah tegak atas mereka, sehingga masalah menjadi jelas.
Agar orang yang tetap pada kekafirannya tidak mempunyai alas an lagi untuk
tetap dalam kekafiran itu dan orang-orang yang benar dalam keimanannya adalah
berdasarkan bukti–bukti yang nyata. Jangan sekali-kali merasa kecil hati dan
gentar dalam menjelaskan hal ini, ketahuilah kekuasaan dan kekuatan hanya milik
Allah dan RsulNya dan orang-orang yang beriman.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
والدليل قوله تعالى : (لاإكراه في الدين قد تبين الرشد
من الغى فمن يكفر بالطغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لاانفصام لها والله
سميع عليم ) البقره آية 156 وهذا هو معنى لاإله الاالله .
Dalilnya[1] firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama [2] (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah [3], Maka Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 256) [4]
Inilah pengertian makna ‘ Laa ilaaha illallah’
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata:
[1] Yang dimaksud
adalah dalil bagi wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan ingkar
terhadap thaghut.
[2] Tidak ada paksaan
dalam memasuki agama Islam karena dalil-dalil dan keterangan serta penjelasan tentangnya
telah nyata, oleh karena itu setelah ayat tersebut Allah melanjutkan, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” Jika telah jelas jalan yang benar dari jalan
yang sesat, maka jiwa yang murni dan bersih pasti akan memilih jalan yang lurus
lagi benar dan meninggalkan yang sesat.
[3] Allah memulai
dengan mengingkari thaghut sebelum menjelaskan iman kepada Allah. Karena
sesuatu dikatakan telah sempurna setelah cacat dan kerusakan yang ada padanya
dihilangkan terlebih dahulu sebelum pondasinya diletakkan. Dalam sebuah
ungkapan disebutkan: Hendaknya menghilangkan cacat terlebih dahulu sebelum
mengisi dengan yang baik.
[4] Artinya berpegang
teguh kepada tali agama yang amat kuat, yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa adalah
tali agama Islam. Renungkanlah,
Allah menggunakan kata (FAQODI ISTAMSAKA) dan tidak (FAQOD TAMASSAKA) karena istamsaka lebih
kuat dari makna tamassaka, karena
tamassaka hanya berarti memegang sedang istamsaka berarti
memegang dengan kuat.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
وفي الحديث "رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة وذروة سنامه
الجهاد في سبيل الله
Dan dalam sebuah hadits disebutkan : "Urusan terpenting adalah Islam [1], sedang
tiangnya adalah Shalat [2] dan atapnya adalah jihad di jalan Allah.[3]"[ii]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata:
[1] Maksud pengarang
berdalil dengan hadits di atas adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang terpenting
dan sesuatu yang terpenting yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam adalah Islam.
[2] Karena agama Islam
tidak tegak jika shalat tidak ditegakkan, oleh karena itu pendapat yang kuat
bagi orang yang meninggalkan sholat dihukumi kafir, dan sudah tidak ada lagi Islam
dalam pribadinya setelah ia meninggalkan shalat.
[3] Atap yang paling
tinggi dan sempurna adalah Jihad di jalan Allah, karena biasanya seseorang
kalau sudah mampu membenahi dirinya maka ia berusaha membenahi orang lain dengan
cara jihad dan perjuangan di jalan Allah agar Islam tegak dan tidak ada yang
tinggi dan menonjol selain kalimat Allah. Maka barangsiapa yang berperang untuk
menegakkan dan menjadikan kalimatullah yang paling tinggi, berarti ia
berperang dan berjuang di jalan Allah, dan jadilah Islam yang tertinggi atas
segala-galanya.
[Sumber : Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok: Siapa Rabbmu? Apa
Agamamu? Siapa Nabimu? (Terjemah Syarah Tsalatsatil Ushul), Penulis:
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah: Zainal Abidin Syamsuddin,
Lc dan Ainul Haris Arifin, Lc , Penerbit: DARUL HAQ, Jakarta. Cet. VIII,
Jumadal Ula 1428 H / Juni 2007 M, hal 243-261]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca artikel kami. Besar harapan kami untuk bisa membaca komentar para pengunjung. Dan berkomentar lah dengan nama (jangan anonim), dan jika berkenan isikan email/website anda supaya saya bisa mengunjungi balik anda semua. terima kasih.