Oleh: Abul Harits
Mereka
selalu mengeluhkan: “Inilah berita sedih dan memprihatinkan bagi peradaban
Islam dan sejarah peradaban umat manusia secara umum. Pemerintah Wahabi Arab
Saudi telah menghancurkan ratusan situs /tempat sejarah Islam yang telah
berusia 14 abad. Semua ini dilakukan semata-mata demi uang dan modernisasi
walaupun dibungkus dengan ‘dalil-dalil agama’ versi mereka, bukan dalil-dalil
agama yang difatwakan oleh jumhur ulama umat Islam dunia.”.
Jauh-jauh
hari sebelum Wahabi menghancurkan situs-situs bersejarah tersebut, para ulama
umat Islam terkhusus ulama-ulama besar Syafi’iyyah telah menjawab keluhan
perasaan mereka.
Imam
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim no. 1859 berkata:
فى الرواية التى قبل هذه دعا على بئر الحديبية
أى دعا فيها بالبركة … )انها
خفى عليهم مكانها فى العام المقبل (
“Dalam riwayat
sebelumnya disebutkan bahwa Rasulullah pernah mendoakan sumur Hudaibiyyah yaitu
mendoakan barakah di dalamnya... (Namun pada tahun berikutnya lokasi sumur
tersebut tersamarkan bagi para sahabat)”
قال العلماء سبب خفائها
أن لا يفتتن الناس بها لما جرى تحتها من الخير ونزول الرضوان والسكينة وغير ذلك
فلو بقيت ظاهرة معلومة لخيف تعظيم الأعراب والجهال إياها وعبادتهم لها فكان خفاؤها
رحمة من الله تعالى
“Para ulama menyatakan
bahwa sebab (hikmah –pen-) tersamarkannya lokasi sumur tersebut agar tidak menimbulkan
fitnah bagi manusia. Dahulu lokasi tersebut adalah tempat turunnya keridhaan,
ketenangan, dan kebaikan-kebaikan yang lain. Seandainya lokasi sumur tersebut
masih nampak dan diketahui oleh mereka, sungguh dikhawatirkan kaum arab badui
dan orang-orang bodoh akan mengagungkan tempat tersebut, lalu mereka akan
melakukan peribadatan di sana. Tersembunyinya lokasi tersebut bagi mereka
merupakan rahmat dari Allah ta’ala” [Syarh Shahih Muslim, 13/5]
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وفي الحديث مشروعية
إزالة ما يفتتن به الناس من بناء وغيره سواء كان إنسانا أو حيوانا أو جمادا
“Dalam hadits ini
terdapat faidah tentang disyariatkannya melenyapkan hal-hal yang dapat
menimbulkan fitnah bagi manusia, baik berupa bangunan berbentuk manusia, hewan
atau benda-benda mati lainnya.” [Fathul Bari, 8/73]
Imam As-Suyuthi menukil
perkataan Syihabuddin Abu Syamah Asy-Syafi’i rahimahumallah:
فضاعف الله نكال من
تسبب بذلك في بنائه، واجزل ثواب من أعان على هدمه اتباعاً لسنة رسول الله ( في هدم
مسجد الضرار المرصد لأعدائه من الكفار. فلم ينظر الشرع إلى كونه مسجداً، وهدمه لما
قصد به من السوء والضرار.
وكذلك مسجد خارج باب
الجابية، يقال له: مسجد أويس القرني، ولم يذكر أحد أن أويساً مات بدمشق، ومن ذلك
قبر باب الصغير، يقال: إنه قبر أم سلمة زوجة النبي (. ولا خلاف أن أم سلمة رضي
الله عنها ماتت بالمدينة. ومن ذلك مشهد بقاهرة مصر يقال: إن فيه رأس الحسين رضي
الله عنه، وأصله أنه كان له بعسقلان مشهد، يقال باتفاق العلماء - لم يخالف أحد
منهم: إن رأس الحسين كان بعسقلان، بل فيه أقوال ليس هذا مكانها.
وكذلك مقابر كثيرة لأسماء
رجال معروفين، وقد علم أنها ليست مقابرهم، فهذه المواضع ليست فيها فضيلة أصلاً.
“Semoga Allah
melipatgandakan hukuman bagi orang-orang yang berpartisipasi dalam pembangunan
situs-situs tersebut dan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang memberikan
bantuan dalam menghancurkannya. Hal itu sebagai bentuk ittiba’ kepada sunah
Rasulullah ketika beliau menghancurkan masjid Dhirar yang memberikan peluang
makar pada musuh-musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir. Syariat memang
tidak menganggap lokasi tersebut sebagai masjid. Penghancuran masjid tersebut
dilakukan dalam rangka menjauhkan umat dari keburukan dan mudharat.
Demikian pula
penghancuran masjid yang terdapat di luar pintu Al-Jabiyah, yang lebih dikenal
dengan Masjid Uwais Al-Qarni. Tidak ada seorang pun ulama yang menyatakan bahwa
Uwais wafat di Dimasyq. Diantara bangunan-bangunan yang juga (disama-ratakan
dengan tanah –pen-) adalah sebuah kuburan di pintu Ash-Shaghir. Dinyatakan
bahwa itu adalah kuburan Ummu Salamah istri nabi. Tidak ada perselisihan
diantara ulama bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha wafat di Madinah. Begitu
pula beberapa situs-situs bersejarah di kota Mesir. Dinyatakan pula bahwa di
lokasi tersebut kepala Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dikuburkan. Dahulu tragedi
pembunuhan Al-Husain terjadi di Asqalan dengan kesepakatan ulama. Tidak ada
seorang pun ulama yang menyelisihi bahwa kepala Al-Husain berada di Asqalan,
lalu mereka berselisih dimanakah kepala beliau dikuburkan. Terdapat banyak
pendapat dalam masalah ini, namun aku tidak bermaksud menjelaskan penjabarannya
di sini.
Demikian pula
penghancuran kuburan-kuburan yang bertuliskan nama-nama para ulama terkenal.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka tidaklah dikuburkan di lokasi tersebut.
Bahkan lokasi-lokasi tersebut sama sekali tidak memiliki keutamaan.” [Al-Amr
bil Ittiba’ wan Nahyu ‘an Al-Ibtida’, 1/9]
Mereka pun masih
mengeluh, kenapa di makam Nabi para peziarah dilarang mencium dan mengusap-usap
dinding kubur. Mereka beralasan “Masih banyak bukti hadits-hadits Nabi saw
tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi saw, serta milik
orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium
makam kuburan Nabi saw dan para wali serta orang-orang shalih, selama tidak
melanggar syariat Islam”
Imam Al-Ghazali
Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan adab-adab ziarah ke makam nabi
berkata:
ثم يأتي قبر النبي صلى
الله عليه و سلم فيقف عند وجهه وذلك بأن يستدبر القبلة ويستقبل جدار القبر على نحو
من أربعة أذرع من السارية التي في زاوية جدار القبر ويجعل القنديل على رأسه وليس
من السنة أن يمس الجدار ولا أن يقبله بل الوقوف من بعد أقرب للاحترام فيقف ويقول
السلام عليك يا رسول الله…
“Kemudian mendatangi
kubur nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdiri di sisinya dengan posisi
membelakangi kiblat dan menghadap dinding kubur dengan jarak sekitar empat
hasta dari sudut tiang makam, lalu ia meletakkan lampu penerangan di atas
kepalanya. Mengusap dan mencium dinding kubur bukan termasuk sunah nabi. Bahkan
yang seharusnya ia lakukan adalah berdiri mendekat sebagai penghormatan pada
beliau. Ia berdiri lalu mengucapkan “Assalamu ‘alaika ya Rasulallah...” [Ihya
‘Ulumuddin, 1/259]
وأما زيارة رسول الله
صلى الله عليه و سلم فينبغي أن تقف بين يديه كما وصفنا وتزوره ميتا كما تزوره حيا
ولا تقرب من قبره إلا كما كنت تقرب من شخصه الكريم لو كان حيا
وكما كنت ترى الحرمة في
أن لا تمس شخصه ولا تقبله بل تقف من بعد ماثلا بين يديه فكذلك فافعل فإن المس
والتقبيل للمشاهد عادة النصارى واليهود
“Adapun tentang ziarah
(makam –pen-) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya ia berdiri di
hadapan makam beliau sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Menziarahi
beliau setelah wafatnya sama seperti menziarahi beliau semasa hidupnya.
Janganlah engkau berdiri terlalu dekat dengan kubur beliau, sebagaimana engkau
pun akan melakukan hal yang sama jika beliau masih hidup. Engkau akan melihat
kemuliaan dan kewibawaan nabi, hingga engkau merasa tidak pantas untuk
menyentuh dan menciumnya. Namun, berdirilah di depan makam sebagaimana engkau
berdiri di hadapan beliau ketika masih hidup. Sesungguhnya mengusap dan mencium
situs-situs bersejarah termasuk kebiasaan orang-orang Nashrani dan Yahudi.”
[Ihya ‘Ulumuddin, 1/271]
Imam An-Nawawi
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وقال الفقهاء المتبحرون
الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت يسلم
ولا يمسح
القبر ولا يقبله ولا
يمسه فان ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد صح النهى عن تعظيم القبور
ولانه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من اركان الكعبة لكونه لم يسن مع
استحباب استلام الركنين الآخرين فلان لا يستحب مس القبور أولي والله أعلم
“Para Fuqaha’ dari
Khurasan berkata: “Disunahkan ketika ziarah kubur berdiri membelakangi kiblat
dan menghadap wajah mayit. Lalu memberi salam tanpa mengusap, mencium dan
menyentuh kuburnya. Karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang
Nashrani.” An-Nawawi berkata: “Perkataan mereka benar, karena telah shahih
(hadits-hadits –pen-) tentang larangan mengagungkan kuburan. Alasan yang lain,
ketika seorang tidak disunahkan untuk mencium dua rukun Syam [1] yang merupakan bagian dari rukun Ka’bah,
bersamaan dengan disunahkannya mencium dua rukun yang lain [2]. Maka tidak disunahkannya mengusap kuburan lebih
utama, Allahua’lam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 5/311]
Imam An-Nawawi
rahimahullah juga menukil perkataan sebagian ulama:
اتبع طرق الهدى ولا
يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن
المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لان البركة إنما هي فيما
وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب
“Ikutilah jalan-jalan
hidayah, meskipun orang-orang yang berada di atas hidayah sangat sedikit. Hal
itu tidak akan memberikan mudharat padamu. Waspadalah dari jalan-jalan
kesesatan. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa. Diantara
kesesatan yang berbahaya adalah keyakinan mereka bahwa mengusap (kuburan atau
tempat-tempat yang dikeramatkan –pen-) dengan tangan dan semisalnya dapat
mendatangkan keberkahan yang lebih banyak. Keyakinan ini disebabkan oleh
kebodohan dan kelalaian mereka. Sesungguhnya keberkahan hanyalah diperoleh
dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin mereka mencari
keutamaan (berkah –pen-) dalam perkara-perkara yang menyelisihi kebenaran!!”
[Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 8/275]
هذا هو الصواب الذي
قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك.
فان الاقتداء والعمل
انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم
وجهالاتهم
“Inilah (aqidah –pen-)
yang benar, aqidah yang diyakini oleh para ulama dan apa yang diterapkan langsung oleh mereka. Janganlah
tertipu dengan banyaknya orang-orang awam yang melakukan penyelisihan.
Sesungguhnya ittiba’ dan amal hanyalah diambil dari hadits-hadits yang shahih
dan perkataan para ulama. Janganlah menoleh pada bid’ah-bid’ah yang dilakukan
orang-orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka.” [Al-Majmu’, 8/275]
Al-Munawi Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata:
) لا تصلوا إلى قبر ولا تصلوا على قبر(
فإن ذلك مكروه فإن قصد إنسان التبرك بالصلاة في تلك البقعة فقد ابتدع في الدين ما
لم يأذن به الله والمراد كراهة التنزيه قال النووي : كذا قال أصحابنا ولو قيل
بتحريمه لظاهر الحديث لم يبعد ويؤخذ من الحديث النهي عن الصلاة في المقبرة فهي
مكروهة كراهة تحريم
“Perkataan nabi
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula shalat di
atasnya”menunjukkan bahwa amalan ini tidak disukai. Jika seorang menyengaja
untuk bertabarruk dengan melakukan shalat di kuburan, sungguh ia telah berbuat
bid’ah dalam agama yang tidak diridhai Allah. Menurutku, perbuatan tersebut
makruh (dibenci –pen-). An-Nawawi berkata: “Demikianlah pendapat sebagian
sahabat kami. Seandainya perbutan tersebut dihukumi haram sebagaimana dzahir
hadits, maka hal ini pun dapat dibenarkan. Keharaman perbuatan tersebut diambil
dari hadits larangan shalat di kuburan.” [Faidhul Qadir, 6/528]
Alhamdulillah, ternyata
Wahabi mengikuti nasehat para ulama besar Syafi'iyyah dalam beragama dan
beramal. Akankah mereka terus-menerus memberikan tuduhan dusta...
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 20 Rabi’uts Tsani 1434 H
***
[1] Dua sudut Ka’bah
yang terletak di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani
[2] Dua rukun yang lain
yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani